JAKARTA, KOMPAS.com - Praktisi keamanan internet Donny
B.U. mengkritik sikap pemerintah yang mendukung Project Loon sebagai
akses telekomunikasi di daerah terpencil.
Pemilihan itu dianggap
tidak adil. Project Loon dari Google mendapat keistimewaan bisa
menggunakan frekuensi 900 MHz sedangkan proyek open source OpenBTS tak diizinkan menggunakan frekuensi tersebut.
Project
Loon telah resmi akan bekerja sama dengan tiga operator utama
Indonesia, yaitu Telkomsel, XL, dan Indosat. Agar dapat berfungsi, balon
internet tersebut mesti mendapat izin untuk memanfaatkan frekuensi 900
MHz yang lisensinya berada di tangan ketiga operator tersebut.
Harapannya
adalah mereka akan memakai teknologi itu untuk membuka akses komunikasi
dan internet cepat di daerah-daerah terpencil.
Namun sebelum terjadi kerja sama itu, menurut Donny, sudah ada solusi bernama Open Base Transceiver Station (OpenBTS) yang ditawarkan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
OpenBTS ini punya fungsi mirip dengan BTS, tapi bisa dibangun dengan modal lebih murah karena alat pengaturannya berupa software
saja. Selain itu, seperti halnya Project Loon, OpenBTS juga membutuhkan
kerja sama berupa alokasi frekuensi dari operator telekomunikasi.
"Project
Loon Google di Indonesia, yang notabene membutuhkan spektrum frekuensi
radio untuk penelitan dan pengembangannya, telah mendapatkan dukungan
dari pemerintah
untuk bekerja sama dengan operator telekomunikasi
agar dapat menggunakan 900 MHz. Jika memang demikian adanya, maka ICT
Watch kembali mengingatkan pemerintah tentang janji ataupun rencana
kerja yang tertulis tentang netralitas teknologi," terang Donny dalam
keterangan resminya pada KompasTekno, Jumat (30/10/2015).
"Untuk
itu, pemerintah haruslah melakukan upaya yang sama agar teknologi
alternatif, semisal OpenBTS, diperkenankan pula menggunakan frekuensi
900 MHz untuk penelitian dan pengembangannya," imbuhnya.
Donny,
dalam akun Twitter-nya, mengatakan upaya teknologi OpenBTS sebagai
penyediaan alternatif telekomunikasi di daerah terisolir terhambat
karena dilarang keras menggunakan frekuensi 900 MHz. Bahkan, OpenBTS
malah dianggap melanggar regulasi frekuensi.
Dia memberikan
catatan bahwa OpenBTS sudah dibuktikan dapat melayani kebutuhan
telekomunikasi di Wamena, Papua. Sejumlah pihak, salah satunya Yayasan
Air Putih, telah memakainya sebagai alat komunikasi darurat.
Praktisi IT sekaligus pegiat open source
Onno W. Purbo bahkan sudah menerbitkan buku hingga mendorong sejumlah
perguruan tinggi untuk memiliki laboratorium OpenBTS sebagai alat
penelitian.
"Tidak ada equal treatment atas teknologi
yang bisa dibangun rakyat versus teknologi yang sedang dibangun
korporasi global. Khususnya dalam kemudahan mendapatkan kerja sama
frekuensi," pungkasnya mengkritik kerjasama Project Loon itu.
Sumber : www.kompas.com
Senin, 02 November 2015
Unknown
DeveloperCras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.
0 komentar:
Posting Komentar